Powered By Blogger

Sabtu, 05 Agustus 2017

DOSEN = GURU

Dosen adalah seorang guru.
 Istilah dosen memang hasil naturalisasi kosa kata dari bahasa Belanda. Tetapi filosofi yang mendasarikan haruslah seorang guru. Keratabasa bahasa Jawa mengatakan bahwa guru haruslah orang yang bisa “digugu” (dipercaya, dipegang ucapannya) dan “ditiru” (dijadikan teladan)[1]. Ini bukan masalah mudah. Tradisi ketimuran yang kental dengan nilai-nilai agama, sangat berbeda dengan tradisi barat yang cenderung berbeda memandang filosofi guru. Ini bukan masalah baik atau buruk, tetapi masalah perbedaan norma yang berlaku.
Dalam kemasan yang sangat elegan, Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara memberikan tiga resep singkat tetapi penuh makna. Pertama, ing ngarsa sung tulada. Pendidik, termasuk dosen, ketika berada di depan haruslah dapat menjadi teladan, menjadi sumber inspirasi. Kedua, ing madya mangun karsa. Ketika berada di tengah, dosen harus dapat menyebarkan semangat, menumbuhkan kreativitas, dan menjadikan mahasiswa dapat menggali kemampuan dirinya. Ketiga, tut wuri handayani. Dosen, ketika harus berada di belakang karena mahasiswa sudah di “jalan yang benar”, harus memberikan kepercayaan kepada mahasiswa, mendorong mahasiswa untuk selalu maju dan bertepuk tangan memberikan semangat.
Ketiga hal ini pada intinya adalah untuk menjamin bahwa dosen dalam “digugu” dan “ditiru”. Tanpa atribut ini nampaknya, pendidikan yang memerdekakan dan menyentuk semua sisi manusia akan sangat sulit dicapai.
Di banyak negara maju yang cenderung sekuler, sistem pendidikan tidak “dibebani” pendidikan akhlak atau mungkin menggunakan definisi akhlak yang digunakan diperlonggar dan cenderung permisif. Beda halnya di Indonesia. Pendidikan akhlak adalah amanah berat lembaga pendidikan di Indonesia.
Amanah ini tidak mungkin dapat dijalankan dengan tanpa pengewantahan filosofi “guru” ke dalam tindakan nyata oleh pada dosen. Semangat ini sangat klop dengan semangat universal Islam yang diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Tanpa akhlak yang baik, yang merupakan hasil dari upaya penggunaan segenap potensi kemanuasian kita, nampaknya akan sulit membedakan manusia dengan binatang, dan kata Al-Qur’an bahkan lebih rendah dibandingkan dengan binatang ternak. Persis dengan jawaban saya ketika ditanya kawan dari negara maju yang tidak lagi menganggap perlunya lembaga pernikahan dan memilih samboer atau samenleven. Mengapa harus nikah? Jawaban saya sambil lalu: Ya, supaya beda dengan binatang. Jawaban gojek tanpa mengutuk seperti ini nampaknya malah mengena dengan baik. Ini hanya contoh. Intinya adalah optimalisasi penggunaan semua potensi kemanusiaan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Dalam Kitab Ta’limul Muta’allim (Az-Zarnuji, t.t.), disebutkan bahwa guru yang dapat memberikan teladan adalah salah satu syarat keberhasilan dalam menuntut ilmu. Lima syarat lain yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah intelejensi atau kecerdasan, ketekunan, kesabaran, dan kecukupan bekal atau biaya, dan waktu yang cukup.

[1] Ada yang mengatakan bahwa keratabasa adalah hasil kreativitas atau otak-atik mathuk atau kengawuran orang Jawa dan tidak berasal dari akar linguistik yang semestinya. Bagi saya, ini adalah upaya memaknai kata. Contoh lain adalah kuping (kaku tur njepiping), wedhang (ngawe kadang), sirah (isine mberah), gedhang (digeged sabubare madhang), gethuk (digeged karo manthuk-manthuk), gelas (yen tugel ora isa dilas), dan lain-lain. Istilah “guru” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang menurut Wikipedia artinya “one who is regarded as having great knowledge, wisdom and authority in a certain area, and who uses it to guide others.” Jadi keratabasa dari “guru” nampaknya pas dengan definisi asalnya.